Rabu, 19 November 2008

Kebebasan Pers Makin Dibatasi

Politik hukum pers di Indonesia saat ini belum berpihak pada pers. Buktinya, pasal- pasal yang terkait dengan kriminalisasi terhadap pers dalam draf RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang akan diajukan pemerintah ke DPR bukannya berkurang, tetapi justru semakin dipertajam.

Jika dalam KUHP yang digunakan selama ini pasal yang mengatur kriminalisasi pers hanya berjumlah 35 pasal, dalam draf RUU KUHP justru bertambah menjadi sekitar 50 pasal. Ancaman hukuman penjara berlipat ganda, ada yang sampai 20 tahun lamanya.

Demikian pendapat yang mengemuka dalam Diskusi Ć¢€Politik Hukum Pers di IndonesiaĆ¢€ yang digelar Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), Jumat (23/9) di Bentara Budaya Jakarta. Selain staf ahli bidang hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M Ramli, tampil berbicara tokoh pers Parni Hadi dan Atmakusumah Astraatmadja, serta praktisi media Arswendo Atmowilito.

Ahmad Ramli menyatakan, Departemen Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memberikan perhatian yang serius terhadap draf RUU KUHP, terutama terhadap puluhan pasal yang dinilai mengganggu kebebasan pers. Kami terus mengkaji dan akan memberikan masukan saat RUU KUHP ini akan dibahas di DPR. Pada prinsipnya kami tidak akan mundur, meniru sikap-sikap represif seperti dulu, tetapi kami juga tidak mau pers tidak profesional, kata Ahmad.

Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah menyatakan, kekhawatiran RUU KUHP saat ini akan salah arah seperti yang banyak disuarakan sejumlah kalangan. Apalagi ketentuan dalam draf RUU KUHP ini masih tetap mengenakan sanksi pidana penjara bagi kegiatan yang berhubungan dengan kebebasan pers serta kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.

Padahal, kata Atmakusumah, akhir-akhir ini semakin banyak negara menghapus beberapa pasal hukum mengenai pencemaran nama baik, penghinaan, dan berita tidak pasti dari aturan perundang-undangan karena pasal seperti itu dianggap tidak jelas, kabur, dan perbuatan terkait tidak dapat dibuktikan. Negara yang menghapus pasal-pasal seperti itu, antara lain Republik Afrika Tengah, Amerika Serikat, Jepang, Sri Lanka, Kroasia, Uganda, dan Timor Timur.

Ada juga negara yang tidak menghapus sama sekali, tetapi memindahkan pasal tersebut dari KUHP ke KUH Perdata sehingga tidak ada pemenjaraan bagi pelanggar pasal hukum tersebut hanya dikenai denda proporsional yang disesuaikan dengan kemampuan perusahaan agar jangan sampai mengalami kebangkrutan.

Parni Hadi menyatakan, kebebasan pers tergantung pada lima faktor, yakni pemilik perusahaan, pemimpin redaksi, pemasang iklan, reaksi publik, dan ideologi negara.

Arswendo menilai, selain dipengaruhi masalah hukum dan politik, kebebasan pers juga tidak terlepas dari faktor ekonomi.

Saat ini, katanya, Departemen Kominfo tidak perlu melakukan pembredelan karena dengan sendirinya pers yang tidak diterima pasar akan hancur. sumber dapat dari KOMPAS

Tidak ada komentar: